Shania dan Ayana
adalah sepasang sahabat. Mereka telah menjalin persahabatan sejak mereka masih
duduk di bangku Sekolah Dasar. Shania lebih muda dari Ayana, namun selisih umur
mereka tidak begitu jauh, hanya beberapa bulan.
Persahabatan
mereka terlihat sangat dekat meskipun mereka memiliki banyak sekali perbedaan.
Shania memiliki postur tubuh yang tinggi, sedangkan Ayana memiliki postur tubuh
yang lebih pendek darinya. Shania memiliki keluarga yang harmonis, dia hidup di
lingkungan keluarga yang sehat dengan kebutuhan sehari-hari yang lebih dari
cukup. Hal itu berbanding terbalik dengan Ayana, ia hidup di keluarga yang
sudah terpecah-belah. Ibunya meninggal 5 tahun yang lalu akibat kecelakaan. Dia
hanya tinggal bersama ayahnya yang mengidap penyakit stroke dan hanya hidup
mengandalkan gaji pensiunan milik ayahnya. Ayana sebenarnya memiliki seorang
adik perempuan, namun dia telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu akibat
terserang penyakit demam berdarah.
Sifat Shania dan Ayana
juga sangat bertolak belakang. Ayana adalah seorang yang sabar, seseorang yang
selalu lebih mementingkan kepentingan oranglain daripada kepentingan dirinya
sendiri. Sedangkan Shania, sifatnya berbanding terbalik dengan Ayana. Shania
mungkin telah terbiasadiperhatikan, bukan memerhatikan. Dia memang anak yang
paling disayang dikeluarganya. Nggak heran, dia adalah anak bungsu dari tiga
bersaudara. Usianya terpaut jauh dengan dua orang kakanya. Dimanapun kapanpun
selain dirumahnya dia juga dapat beradaptasi dengan baik. Kehebatannya bergaul
dan parasnya yang cantik membuat hamper semua orang yang mengenalnya dapat
menjalin hubungan baik dengannya, lain dengan Ayana yang sangat sulit untuk
bergaul. Bagi Ayana, Shania-lah sahabat satu-satunya yang dia miliki.
~oOo~
Kini mereka
berdua telah duduk dibangku kelas XII SMA. Entah merupakan kebetulan atau
bukan, semenjak duduk dibangku Sekolah Dasar mereka selalu saja mendapat kelas
yang sama. Ayana duduk dimeja tepat di depan guru seorang diri, karena hari itu
Shania sedang lebih dekat dengan temannya yang lain dikelas itu. Namun, jika
Shania sudah merasa bosan dengan semua orang dikelas itu, maka ia akan kembali
duduk bersama dengan Ayana. Nah, jika hal itu terjadi, ketika sahabatnya Shania
kembali menganggapnya sebagai seorang sahabat, dia pasti akan mencatat nya
disebuah buku kecil, seperti buku diary miliknya. Warnanya biru muda bergambar
bunga, pita, dan dua burung dara yang sedang terbang. Sebenarya itu adalah buku
lama yang dimiliknya semenjak dia masih sebagai murid Sekolah Dasar. Dia
membelinya di sebuah toko ketika pergi ke Bandung bersama ayah dan ibunya. Dia
membeli 2 buku yang sama, yang satu diberikannya kepada sahabatnya Shania,
namun Ayana sudah sangat lama tidak pernah melihat Shania membawa buku kecil
itu. Yang satu lagi tentu untuk dirinya sendiri, dan akhirnya buku itu menjadi
tempatnya menuliskan ceritanya bersama Shania, hanya bersama Shania. Tekadang
pula ia hanya menuliskan tentang Shania saja dalam buku itu.
‘Januari 25, 2012…… Hari ini Shania
duduk bersama Uzima. Ini adalah kali ke- 16 dia berpindah duduk selama kami
bersekolah di SMA ini.
Ayana menulis
perlahan, ditutupnya kemali buku itu setelah dia selesai menulis. Matanya kembali
bergerilya mencari Shania. Setelah dia menemukan sosok cantik itu dia
menancapkan pandangannya pada Shania. Kemanaun Shania pergi, maka disanalah ia
akan mengalihkan pandangannya.
~oOo~
Pagi hari ketika
pelajaran B.Indonesia sedang berlangsung seorang tetangga Ayana menghampiri ke
kelasnya. Guru B.Indonesia, Bu Rosani yang sedang mengajar di kelas Ayana pun
menyambut. Mereka berbincang bincang di depan pintu kelas. Ayana yang semakin
terbenam dalam kepenasarannya hanya bisa diam, dipandangnya arah depan pintu
tempat gurunya dan tetangganya berbicara.
“Ayana …!”
kata Bu Rosani yang masih berdiri didepan pintu, menatap kearah tempat
duduk Ayana.
Ayana yang kaget
mendengar suara gurunya langsung meninggalkan bangkunya dan menuju pintu.
“Berbenahlah” Bu Rosani berbisik kepada Ayana.
Ayana masih beum mengerti, namun belum juga
dia gerakan mulutnya untuk meminta penjelasan Bu Rosani kembali mengulangi perkataannya
“Berkemaslah,
nanti saudaramu ini yang akan menjelaskannya padamu”
Akhirnya Ayana
menuruti perintah gurunya. Dia kembali ke bangku tempat duduknya dan mengemasi
bukunya. Shania yang hari itu duduk bersamanya juga menjadi bingung.
“Ayana, ada apa?”
“Aku juga belum
tahu.” Ayana menjawab ringan sambil mengemasi bukunya.
“Doakan saja
semuanya akan baik-baik saja.” Ayana tersenyum dan beranjak dari bangkunya.
“Pastinya,
hati-hati ya” Shania membalas, dan Ayana hanya membalas dengan senyuman.
Di luar kelas,
tetangga Ayana menyambutnya. Wanita paruh baya itu menyambut Ayana, kemudian
pamit kepada Ibu Rosani.
Dalam perjalana
menggunakan angkutan umum Ayana dan tentangganya itu masih terdiam, Ayana pun
tidak menanyakan sesuatu, dia mulai berpikir tentang sesuatu yang buruk.
Selintas bayangan ayahnya terlintas dibenaknya. Pikiran itu semakin dan semakin
jelas, walau Ayana berusaha menghilangkan firasal itu, tapi tidak bisa. Ayana
mulai meneteskan air mata, tetangganya yang duduk disebelahnya kemudian
merangkulnya, sepertinya dia sudah tahu apa yang terlintas di pikiran Ayana.
Tangisan Ayana
semakin menjadi ketika sampai di depan rumahnya. Rumahnya terlihat lebih ramai dari
biasanya. Tanpa bertanya kepada siapapun Ayana langsung masuk ke dalam rumahnya
dan menuju kamar ayahnya. Dan benar ayahnya sedang berbaring, tanpa suara.
Ayana tertunduk lemah, air matanya mengalir sangat deras. Perlahan dia
merangkak menuju tempat ayahnya berbaring. Ayahnya masih bernapas, dia masih
bisa bersuara, tapi matanya nggak dapat lagi bergerak.
“Ayana..” ucap
ayahnya terbata-bata.
“Iya yah” Ayana
mendengar ucapan ayahnya dengan seksama.
“Uj,, ujian depan.”
Ayana mencoba
untuk mengerti perkataan ayahnya.
“Kamu..harus
lulus.” ucap ayahnya.
“Ya, ayah Ayana
akan lulus dengan nilai yang memuaskan.”
“Anak-ku
tersayang, jaga dirimu baik-baik.” Dan ayahnya pun menghembuskan nafas
terakhirnya.
“AYAH…!!!” Teriak
Ayana.
Tetangganya
mencoba untuk menenangkannya,
“Ayah…!!!”
Ayana kembali terduduk lemas, dia mencoba melemparkan pandangannya menuju
seluruh penjuru ruangan sempit itu, isak tangisnya terhenti, napasnya tersendat-sendat,
hingga dia tidak mampu menguasai kesadarannya lagi.
Setelah
upacara pemakaman Ayah Ayana selesai, teman teman dan guru-gurunya mengucapkan
rasa duka-cita yang dalam kepadanya. Ayana yang sampai saat itu masih belum
bisa menghentikan tangisnya, menerima belasungkawa mereka dengan baik. Namun
dari sekian banyak teman yang datang, tidak terlihat Shania diantara mereka.
Ayana tahu, bahwa Shania tidak suka acara semacam itu. Ayana pun memakluminya.
‘February 27, 2012…..
Hari ini pemakaman ayahku, dan Shania nggak ada di sini’
Ayana
menulis pada uku kecilnya setelah dia mulai menguasai dirinya. Ayana
membuka-buka buku biru yan tebal itu,
“sudah
hampir habis.” Katanya kepadda dirinya sendiri dengan suara sudah hampir habis.
Dia
membuka kembali halaman demi halaman buku itu.
‘March 28, 2006…. Aku punya 2 diary baru, yang satu buat Shania, yang satu buat aku…’
‘May
1, 2007….. Shania nggak jahat, aku yang salah’
‘May
4, 2007…… Shania sangat baik, dia mau memaafkanku’
Ayana teringat sekilas
dengan kejadian yang terjadi pada kedua kejadian itu. Kejadian sewaktu Shania
ngambek karena dia nggak memperhatikan cerita Shania. Walau sebenarnya, Shania
juga sering nggak memperhatikan Ayana saat dia bicara. Tapi Ayana dapat
mengerti.
‘February
28, 2012…. Bodohkah aku?
~oOo~
Dua bulan kemudian,
ujian kelulusan dimulai. Seluruh siswa dan siswi kelas XII berjuang untuk
mendapatkan hasil yang terbaik, termasuk Ayana dan Shania.
‘April
25, 2012… Seperti ujian-ujian sebelumnya, Shania mengambil jawabanku, dan
menyalinnya…’
‘May 26, 2012… Aku lulus, Shania juga…’
~oOo~
Malam ini diadakan acara perpisahan di SMA tempat
Shania dan Ayana bersekolah selama ini, Mereka berdua menghadiri acara
tersebut, namun mereka nggak datang bersama. Ayana berangkat dari rumahnya
seorang diri, dan Shania berangkat bersama kekasih barunya. Tentu, Ayana tahu
semua itu.
Di tengah pesta itu, semua orang bersenang-senang. Begitu juga dengan Shania, dia seperti seorang artis malam itu. Gaun berwarna merah yang dikenakannya membuatnya terlihat sangat anggun. Mungkin hanya Ayana yang tidak terlihat bahagia saat itu. Wajahnya terlihat pucat. Hal itu membuat Shania berhenti sejenak dalam kesenangannya dan menghampiri Ayana yang tengah duduk di sebuah kursi
“Hey Ayana, aku liat
dari tadi kamu diem aja, kenapa hey?” Tanya Shania
“Tak apa.., Kau tak
mengerti.” Balas Ayana ringan
“Oh, sekarang kamu udah
berani main rahasia-rahasiaan denganku ya?” Shania melanjutkan pembicaraannya,ia
mencoba untuk menggoda Ayana.
“Rahasia? Aku nggak
pernah ingin menyimpan sebuah rahasia pun denganmu, Shania..Kau saja yang nggak
pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya.”
Muka Shania berubah, dia
mengerutkan keningnya, dari wajahnya terlihat jelas kebingungannya,
“Hah? Apa maksudmu? Aku
nggak mengerti sama sekali.”
“Dari dahulu, aku juga
tahu kau nggak pernah mengerti aku” Ayana berkata pelan dan datar.
“Aku yang dari dulu
sangat mengertimu, kan? Iya kan?” ucap Ayana
Ayana menengok ke arah
Shania, sedang Shania masih bingung dengan apayang di bicarakan sahabatnya itu.
“Shania, dari semejak
kita bertemu, sadarkah kamu nggak pernah mengerti aku? Kamu nggak tahu kan aku
menyukai pantai? Kau tak tahu kan aku tak suka sandwich yang selalu mamamu
bawakan untuk kita?” Ayana tersenyum ke arah Shania lagi
kemudian melanjutkan
perkataannya, “Tapi aku tahu kau, Shania. Sangat tahu. Sadarkah kamu, kamu
sudah berpindah tempat duduk 24 kali selama kita berada dalam satu kelas yang
sama?”
Ayana menarik napasnya
sejenak, ditundukkan kepalanya dan dia melanjutkan pembicaraannya.
“Dan aku juga sangat
tahu kamu nggak suka upacara pemakaman.” Ayana kemudian terdiam.
“Ayana, maafkan aku, aku
nggak bermaksud untuk nggak menghadiri pemakaman ayahmu.” Shania terbata-bata.
“Nggak apa-apa kok, aku
juga ngerti, Shania.. Aku yang harusnya minta maaf kepadamu. Aku seharusnyatidak
berbica selancang ini padamu. Tapi…”
Ayana menarik napasnya
lagi, dan menghempaskannya perlahan, “Tapi, aku nggak akan bisa bicara seperti
ini selain hari ini…”
Ayana benar benar
membuat Shania menjadi bingung, “Ayana?”
Ayana berdiri dari
tempatnya semula duduk, “Ayahku hanya ingin aku lulus dengan nilai yang bagus.”
Dia menoleh pada Shania,
“Aku pergi dulu Shania,
Sahabatku Maafkan aku .”
Ayana telah
meninggalkannya namun Shania masih, duduk terdiam, dia masih nggak begitu mengerti
apa yang diakatakan Ayana
‘June
16, 2012…. Hari ini, hari pertama aku berkata lancang kepada Shania, dan
Mungkin jadi yang terakhir juga’
Ayana menulis pada buku
biru kecilnya, kali itu di halaman terakhir.
~oOo~
Keesokan harinya, Shaniaterkejut
mendengar bahwa sahabatnya, Ayana telah meninggal dunia. Awalnya dia nggak
mempercayainya hingga Shania akhirnya benar-benar menemui Ayana, sahabatnya itu
terbaring pucat di atas tempat tidurnya. Shania nggak menyangka, upacara
pemakaman pertama yang dia hadiri adalah upacara pemakaman sahabatnya sendiri.
Shania bertanya kepada tetangga Ayana tentang
penyebab kematiannya,
“Dari kemarin Ayanamemang terkena panas tinggi dek…” salah satu tetangga Ayana menjelaskan. “Sudah di bujuk untuk pergi ke dokter, namun dia bilang dia nggak perlu. Saya sendiri juga kaget mengetahui Ayana sudah meninggal pagi-pagi tadi.”
Shania masih tercengang,
dia belum sepenuhnya mempercayai kenyataan.
~oOO~
Setelah upacara
pemakaman Ayana selesai, Shania kembali menuju rumah Ayana. Dialah yang dipercaya
tetangga-tetangga Ayana untuk membenahi barang-barang Ayana, mengingat Ayana
nggak mempunyai siapa-siapa lagi dan Ayana juga selalu bercerita kapada tetangga-tetangganya
tentang Shania.
Shania memulai membenahi
barang-barang Ayana dari kamarnya. Kamar Ayana terlihat sangat bersih, meskipun
berukuran kecil. Semua buku, dan barang-barang di kamar itu telah di pack
dengan sangat rapi, bahkan buku-buku pun telah rapi dimasukkan di dalam kardus,
seolah Ayana telah sangat siap untuk pergi. Hanya ada beberapa benda yang masih
terlihat di meja di kamar itu. Sebuah bolpoint, sebuah gelas berisi air untuk
meletakkan bunga mawar putih yang masih terlihat segar dan sebuah buku tebal
berukuran kecil berwarna biru. Shania mengambil dan mengamati buku itu.
“Ini seperti, hmmm……”
Shania mencoba menebak-nebak,
“Ya, Ini seperti yang
Ayana berikan padaku dulu,Nampaknya Dia masih menyimpannya padahal milikku
telah hilang entah dimana” Dia berbisik pada dirinya sendiri.
Shania membuka buku itu,
semuanya hanya berisi tentang dirinya, Dia terpaku air matanya mengalir ketika
dia membaca tulisan-tulisan tangan singkat pada buku itu.
“Sungguhkah hanya aku
yang dia miliki? Sungguh aku tak tahu maaf, maafkan aku sahabat aku benar-benar
tak pernah mengerti, aku sama-sekali nggak mengerti, Maafkan aku Ayana…”
~SELESAI~
Created by: Muhammad Rizal Dinnur
0 Comment:
Posting Komentar